Selasa, 15 Januari 2013

PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN YANG DI DEPAN NAMANYA TIDAK BOLEH LAGI MENGGUNAKAN KATA “YAYASAN” SESUAI PP NOMOR 2 TAHUN 2013

PERUBAHAN ANGGARAN DASAR YAYASAN YANG DI DEPAN NAMANYA TIDAK BOLEH LAGI MENGGUNAKAN KATA “YAYASAN” SESUAI PP NOMOR 2 TAHUN 2013

Oleh : Alwesius, SH, MKn

1. Pendahuluan

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2013 (“PP 2/2013”) yang merupakan perubahan atas Perauran Pemerintah nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan UU Yayasan (“PP 63/2008) terdapat suatu perubahan mendasar dalam kaitannya dengan kedudukan Yayasan yang sebenarnya sudah tidak lagi dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya. Yayasan tersebut yang sebelumnya berdasarkan PP 63/2008 sudah tidak dapat lagi disesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan, dengan terbitnya PP 2/2013 kembali dimungkinkan untuk menyesuaikan AD-nya tersebut dengan UU Yayasan. 
Apa dan bagaimana pelaksanaan perubahan AD Yayasan yang di depan namanya tidak lagi dapat menggunakan kata “Yayasan” tersebut dan apakah ada permasalahan yang akan timbul dengan terbitnya PP 2/2013. Berkaitan dengan hal tersebut untuk lebih memahami perihal hal tersebut maka penulis merasa perlu untuk membuat tulisan singkat ini untuk kepentingan kita semua.

2. Yayasan yang di depan namanya tidak lagi dapat menggunakan kata “Yayasan”

Berdasarkan ketentuan Pasal 71 UU Yayasan ada 2 (dua) macam status hukum Yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan (“Yayasan Lama”), yaitu:

a. Yayasan Lama yang telah berstatus sebagai badan hukum;
b. Yayasan lama yang belum berstatus sebagi badan hukum;

ad a. Yayasan lama yang berstatus badan hukum

Yayasan lama yang berstatus sebagai badan hukum yaitu yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) UU Yayasan yaitu :

1) telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia; atau
2) telah didaftarkan di Pengadilan Negeri dan mempunyai izin melakukan kegiatan dari instansi terkait;

Yayasan-yayasan yang demikian dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya UU Yayasan wajib menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan agar tetap diakui statusnya sebagai badan hukum

Dan selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU Yayasan wajib diberitahukan kepada Menkumham paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian tersebut.


Ad b. Yayasan lama yang belum berstatus sebagai badan hukum 

Yayasan lama yang belum berstatus badan hukum yaitu yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (2) UU Yayasan, yaitu yayasan yang telah didirikan sebelum berlakunya UU Yayasan, akan tetapi tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) UU Yayasan.

Yayasan yang belum berstatus badan hukum ini dapat memperoleh status badan hukum dengan cara menyesuaikan AD-nya dengan ketentuan UU Yayasan dan mengajukan permohonan kepada Menteri dalam jangka waktu paling lambat 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal UU Yayasan. 

Pasal 71 ayat 4 UU Yayasan menentukan:

“Yayasan yang tidak memenuhi menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata “ Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.”

Pasal 39 PP 63/2008 menentukan:

“Yayasan yang belum memberitahukan kepada Menteri sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3) Undang-undang tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-undang dan harus melikuidasi kekayaannya serta menyerahkan sisa hasil likuidasi sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimakud dalam Pasal Undang-undang.”

Berdasarkan ketentuan pasal 71 ayat 4 UU Yayasan dan Pasal 39 PP 63/2008 tersebut maka yang dimaksud dengan yayasan yang di depan namanya tidak dapat lagi menggunakan kata “ Yayasan” adalah Yasayan lama yang telah berstatus badan hukum maupun yayasan lama yang belum berstatus badan hukum yang tidak memenuhi kewajibannya untuk menyesuaikan AD-nya sesuai ketentuan UU yayasan dalam waktu yang ditetapkan oleh UU Yayasan serta juga yayasan lama yang telah berstatus badan hukum akan tetapi belum memberitahukan mengenai perubahan AD-nya kepada Menteri.

Sejak tanggal 7 Oktober 2008, Yayasan Lama sudah tidak dapat lagi menyesuaikan AD-nya dengan ketentuan UU Yayasan karena telah lewatnya waktu untuk melakukan penyesuian AD sebagaimana ditetapkan dalam UU Yayasan dan PP 63/2008. 

3. Penyesuaian AD Yayasan lama berdasarkan PP 2/2013 

Dengan diterbitkannya ketentuan PP2/2013 yang mulai berlaku sejak tanggal 2 Januari 2013 maka Yayasan Lama yang semula tidak dapat lagi menyesuaikan AD-nya untuk disesuaikan dengan UU Yayasan dan tidak dapat lagi menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya saat ini kembali dapat melakukan penyesuaian AD-nya dengan UU Yayasan dan karenanya selanjutnya setelah disahkan sebagai badan hukum atau disetujuinya perubahan AD yayasan yang bersengkutan eksistensinya sebagai badan hukum dapat kembali diakui. 

a. Penyesuaian AD Yayasan Lama yang belum berstatus sebagai badan hokum

Pasal 1 PP 2/2013 menambah 1 (satu) Pasal diantara Pasal 15 dan 16 PP 63/1998, yakni Pasal 15 A yang berbunyi: 

“Dalam hal permohonan pengesahan akta pendirian Yayasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan kekayaan awal Yayasan berasal dari Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya, permohonan pengesahan dilampiri:

a. salinan akta pendirian Yayasan yang dalam premise aktanya menyebutkan asal-usul pendirian Yayasan termasuk kekayaan Yayasan yang bersangkutan;
b. laporan kegiatan Yayasan paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara berturut-turut yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh instansi terkait;
c. surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan;
d. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris;
e. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
f. pernyataan tertulis dari Pengurus Yayasan yang memuat keterangan nilai kekayaan pada saat penyesuaian Anggaran Dasar;
g. surat pernyataan Pengurus mengenai keabsahan kekayaan Yayasan; dan
h. bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 15 A PP maka untuk yayasan lama yang belum berstatus badan hukum penyesuaian dengan UU Yayasan hanya dapat dilakukian apabila :
1) yayasan tersebut memang menjalankan kegiatan usahanya sesuai AD yayasan yang bersanmgkutan yangdibuktikan dengan laporan kegiatan usaha paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara berturut-turut, yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh instansi terkait;
2) yayasan yang bersangkutan belum pernah dibubarkan, yang dibuktikan dengan surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan.

Penyesuaian AD yayasan lama yang belum berstatus badan hukum dibuat dengan membuat akta pendirian yayasan, dengan menyebutkan asal-usul pendirian yayasan serta kekayaan yang bersangkutan di dalam premise akta pendiriannya.Tentunya kita jangan melupakan bahwa sebelum dibuatnya akta pendirian tersebut kita harus melakukan pengecekan apakah nama yayasan yang bersangkutan masih dapat dipergunakan.

b. Penyesuaian AD Yayasan Lama yang telah berstatus badan hukum. 

Perubahan AD yayasan yang telah berstatus badan hukum ditetapkan dalam Pasal 37 PP 63/2008. Untuk perubahan AD Yayasan Lama yang telah berstatus badan hokum namun tidak dapat lagi menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya PP 2/2013 menambahkan 1(satu) pasal diantara Pasal 37 dan 38 PP 63/2008 yaitu Pasal 37 A yang berbunyi:

“(1) Dalam hal perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dilakukan untuk Yayasan yang sudah tidak dapat menggunakan kata “Yayasan” di depan namanya maka Yayasan tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:

a. paling sedikit selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian Anggaran Dasar masih melakukan kegiatan sesuai Anggaran Dasarnya; dan

b. belum pernah dibubarkan.

(2) Perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara mengubah seluruh Anggaran Dasar Yayasan dan mencantumkan:

a. seluruh kekayaan Yayasan yang dimiliki pada saat penyesuaian, yang dibuktikan dengan:

1) laporan keuangan yang dibuat dan ditandatangani oleh Pengurus Yayasan tersebut;atau

2) laporan keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik bagi Yayasan yang laporan keuangannya wajib diaudit sesuai dengan ketentuan Undang-Undang;

b. data mengenai nama dari anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas yang diangkat pada saat perubahan dalam rangka penyesuaian Anggaran Dasar tersebut.

(3) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang telah disesuaikan dengan Undang-Undang disampaikan kepada Menteri oleh Pengurus Yayasan atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
(4) Pemberitahuan perubahan Anggaran Dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilampiri:

a. salinan akta perubahan seluruh Anggaran Dasar yang dilakukan dalam rangka penyesuaian dengan ketentuan Undang-Undang;
b. Tambahan Berita Negara Republik Indonesia yang memuat akta pendirian Yayasan atau bukti pendaftaran akta pendirian di pengadilan negeri dan izin melakukan kedgiatan dari instansi terkait;
c. laporan kegiatan Yayasan selama 5 (lima) tahun berturut-turut sebelum penyesuaian angagran dasar yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh instansi terkait;
d. surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa Yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan;
e. fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak Yayasan yang telah dilegalisir oleh notaris;
f. surat pernyataan tempat kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh lurah atau kepala desa setempat;
g. neraca yayasan yang ditandatangani oleh semua anggota organ yayasan atau laporan akuntan public mengenai sebelum penyesuaian;
h. pengumuman surat kabar mengenai ikhtiar laporan tahuan bagi yayasan yang sebagaian kekayaannya berasal dari bantuan Negara, bantuan luar negeri, dan/atau sumbangan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 Undang-undang; dan
i. bukti penyetoran biaya pengesahan dan pengumuman Yayasan.”

Berdasarkan ketentuan Pasal 37 A PP maka untuk yayasan lama yang telah berstatus badan hukum penyesuaian dengan UU Yayasan apabila :
1) yayasan tersebut memang menjalankan kegiatan usahanya sesuai AD yayasan yang bersanmgkutan yangdibuktikan dengan laporan kegiatan usaha paling sedikit selama 5 (lima) tahun terakhir secara berturut-turut, yang ditandatangani oleh Pengurus Yayasan dan diketahui oleh instansi terkait;
2) yayasan yang bersangkutan belum pernah dibubarkan, yang dibuktikan dengan surat pernyataan Pengurus Yayasan bahwa yayasan tidak pernah dibubarkan secara sukarela atau berdasarkan putusan pengadilan.

Penyesuaian AD yayasan lama yang belum berstatus badan hukum dibuat dengan membuat akta perubahan anggaran dasar yayasan. yang dibuat dalam rangka penyesuaian dengan UU Yayasan.

4. Masalah jangka waktu penyesuaian dan pemberitahuan yang ditetapkan dalam UU Yayasan 

Sebagaimana telah diuraikan di atas berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat 1 UU Yayasan, yayasan yang telkah didirikan sebelum UU Yayasan dan telah diakui sebagai badan hukum dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhitung sejak tanggal berlakunya UU Yayasan wajib menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan agar tetap diakui statusnya sebagai badan hukum. Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU Yayasan wajib diberitahukan kepada Menkumham paling lambat 1 (satu) tahun setelah pelaksanaan penyesuaian tersebut.

Selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 71 ayaT 2 UU Yayasan, yayasan yang telah didirikan sebelum UU Yayasan dan tidak memenuhi syarat sebegaiman dimaksud dalam Pasal 71 ayat 1 UU Yayasan wajib menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun) untuk memeperolah status sebagi badan hukum.

Pasal 71 ayat 4 UU Yayasan menetukan bahwa yayasan yang tidak memenuhi menyesuaikan Anggaran Dasarnya dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Yayasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak dapat menggunakan kata “ Yayasan” di depan namanya dan dapat dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.
Berdasarkan uraian di atas maka jika kita berpegang pada ketentuan pasal 71 UU Yayasan maka dengan lewatnya jangka waktu yang ditetapkan dalam UU Yayasan berarti yayasan-yayasan yang tidak menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan tidak dapat lagi melakukan penyesuaian AD, kecuali dilakukannya perubahan atas Pasal 71 UU Yayasan tersebut.Perubahan Pasal 71 UU Yayasan tersebut tentunya harus dilakukan dengan suatu UU.
PP 2/2013 membuka kembali kemungkinan Yayasan Lama yang belum menyesuaikan AD-nya dengan UU Yayasan untuk dapat melakukan penyesuaian AD dengan persyaratan tertentu.Jadi yang tadinya sudah tidak dapat lagi dilakukan penyesuaian AD karena telah lewatnya jangka waktu penyesuaian, sekarang kembali dapat melakukan penyesuaian. 
Yang menjadi pertanyaan penulis berkaitan dengan hal tersebut adalah apakah ketentuan dalam PP 2/2013 merupakan perpanjangan jangka waktu untuk melakukan penyesuaian atau meniadakan ketentuan mengenai jangka waktu penyesuaian yang ditetapkan dalam Pasal 71 UU Yayasan. Jika jawabannya memperpanjang jangka waktu maupun meniadakan jangka waktu penyesuaian yang ditetapkan dalam Pasal 71 UU Yayasan, pertanyaan selanjutnya apakah suatu peraturan yang lebih rendah (PP) dapat mengenyampingkan atau merubah ketentuan yang terdapat dalam peraturan yang lebih tinggi (UU).
Itulah pertanyaan yang harus kita pikirkan bersama agar akta yang kita buat tidak menimbulkan persoalan baru.

5. Kesimpulan

Terbitnya PP 2/2013 memang akan sangat membantu bagi masyarakat agar yayasan yang telah mereka jalankan selama ini tidak terbengkalai atau tidak jelas status hukumnya, smentara kegiatan yang dijalankan oleh yayasan tersebut masih berjalan sebagaimana mestinya dan bahkan sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Tapi maksud baik untuk menyelesaikan masalah yayasan tersebut tentunya jangan sampai menimbulkan masalah baru.
Demikian tulisan singkat ini penulis buat mudah-mudahan bermanfaat bagi kita semua dan besar harapan penulis terdapat kritikan dan masukan atas tulisan tersebut untuk perbaikan kedepan.

Tks
Salam

Alwesius,SH,MKn.

PEMBIAYAAN MUDHARABAH, MUSYARAKAH, dan WADI'AH



PEMBIAYAAN MUDHARABAH, MUSYARAKAH, dan WADI'AH * * sumber : http://ariefmuliadi30.blogspot.com/2012/06/makalah-pembiayaan-mudharabah.html 



PENDAHULUAN

            Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan  salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
            Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.
            Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq). Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.
            Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
            Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain, pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad harus ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung, akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.
            Karena itulah ulama fiqh menetapkan apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT.  Dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya “ Hai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu.
            Dalam makalah ini, penulis akan menjabarkan beberapa jenis akad dalam pembiayaan di perbankan syariah, yaitu akad mudharabah, musyarakah, dan Wadi’ah.
            Dengan tulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang baik dan terarah guna mewujudkan penerapan syariah Islam secara kaffah di industri perbankan syariah di lingkungan kita sendiri maupun di Indonesia tercinta.

PEMBAHASAN

1.                  MUDHARABAH

1.1.Pengertian
Dibawah ini adalah beberapa pengertian mudharabah dari beberapa sumber yang digunakan sebagai acuan, yaitu:
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Dan secara tehnis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Jika kerugian akibat dari kelalaian pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pengelola dana.
Mudharabah yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

1.2.Landasan Syariah
·      Al-Qur’an

“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…” (al-Muzzammil: 20)

“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”(al-Baqarah: 198)

·      Al-Hadist
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
1.3.Rukun Dan Syarat Pembiayaan
Dibawah ini adalah beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang dimuat dalam fatwa DSN no. 7 tentang mudharabah.
1.      Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3.      Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepadamudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.       Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.      Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.       Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4.      Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.       Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b.      Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk persentase (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.       Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5.      Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.      Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.       Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.


1.4.Jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu:

1.      Mudharabah muthlaqah
adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
2.      Mudharabah muqayyadah
adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana, antara lain mengenai tempat, cara dan atau obyek investasi.
Seiring dengan perkembangannya,
            Ada satu jenis mudharabah lagi yaitu “Mudharabah Musytarakah”. Mudharabah musytarakah adalah bentuk mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.

1.5.Mekanisme Pembiayaan
Pada sisi pembiayaan, akad mudharabah biasanya diterapkan pada dua hal, yaitu:
1.      Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
2.      Investasi khusus, yang disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan olehshahibul maal


2.                  MUSYARAKAH

2.1.Pengertian
Dibawah ini adalah beberapa pengertian musyarakah dari beberapa sumber yang digunakan sebagai acuan, yaitu:
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan risiko berdasarkan porsi kontribusi dana.
Musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

2.2.Landasan Syariah
·         Al-Qur’an

“…Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga…” (an-Nisa’: 12)

“…Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh…” (Shaad: 24)

·         Al-Hadist
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).

2.3.Rukun dan syarat pembiayaan
Dibawah ini adalah beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan musyarakah yang dimuat dalam fatwa DSN no. 8 tentang musyarakah.
1.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2.      Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b.      Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c.       Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d.      Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e.       Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3.      Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a.       Modal
·         Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
·         Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
·         Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
b.      Kerja
·         Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
·         Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c.       Keuntungan
·         Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
·         Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
·         Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
·         Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d.      Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
4.      Biaya Operasional dan Persengketaan
a.       Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2.4.Jenis Musyarakah
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Musyarakah permanen adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad. Maksud dari musyarakah permanen adalah syirkah uqud yang terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
a.       Inan, yaitu Usaha bersama (kongsi) dimana modal dan keahlian yang diberikan tidak sama
b.      Mufawadhah, yaitu Usaha bersama dimana modal dan keahlian yang diberikan sama jumlah dan kualitasnya
c.       Abdan, yaitu Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah keahlian/ tenaga
d.      Wujuh, yaitu Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah nama baik
2.      Musyarakah menurun (musyarakah mutanaqisha) adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana entitas akan dialihkan secara bertahap kepada mitra sehingga bagian dana entitas akan menurun dan pada akhir masa akad mitra akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut

2.5.Mekanisme pembiayaan
Pada sisi pembiayaan, akad musyarakah dapat diterapkan pada beberapa hal, diantaranya adalah:
1.      Musyarakah permanen
a.       Pembiayaan proyek
b.      Modal ventura
2.      Musyarakah Mutanaqisah
a.       Pembiayaan real estate


3.                  WADI’AH

3.1.Pengertian
      Dalam tradisi fiqih islam, prinsip titipan/simpanan dikenal dengan prinsip wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang dijaga dan dikembalikan saja si penitip menghendaki.
      Maknanya adalah perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang), dimana pihak penyimpan bersedia menyimpan bersedia menyimpan dan menjaga keselamatan barang yang dititipkan kepadanya.

3.2.Landasan Syariah

·         Al-Qur’an  

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

·         Al-Hadist
عن ابى هريرة قال : قال النبى صرم ادالامانة الى من ائتمنك ولا تخن من خنك
Artinya : Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas berkhianat kepada orang yang telah menghianatimu.

3.3. Rukun dan syarat wadi’ah
ü         . Rukun Wadi’ah
1. Orang yang berakad, yaitu :
Ø Pemilik barang / penitip (muwadi’)
Ø Pihak yang menyimpan / dititipi (mustauda’)
2. Barang / uang yang dititipkan (wadi’ah)
3. Ijab qobul / kata sepakat (sighot)

ü         Syarat Wadi’ah
1. Orang yang berakad harus :
Ø Baligh
Ø Berakal
Ø Cerdas
2. Barang titipan harus :
Ø Jelas (diketahui jenias / indentitasnya)
Ø Dapat di pegang
Ø Dapat dikuasai untuk di pelihara

3.4.Jenis Wadi’ah
1. Yad Adh-Dhamanah
Yaitu akad penitipan barang / uang, dimana pihak penerimaan titipan dapat memanfaatkannya dan harus bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan.
2. Yad Al-Amanah
Yaitu : titipan murni, yang artinya orang yang diminta untuk menjaga barang titipan diberikan amanat atau kepercayaan untuk menjaga barang tersebut dari segala hal yang dapat merusaknya.
Perbedaan :
1. Yad Adh-Dhamanah
Ø Obyek boleh dimanfaatkan
Ø Kerusakan ditanggung pengguna
Ø Biaya perawatan ditanggung pengguna
2. Yad Al-Amanah
Ø Obyek tidak boleh dimanfaatkan
Ø Krusakan ditanggung oleh pemilik
Ø Biaya perawatan ditanggung pemilik

3.5.Menejemen pembiayaan
Bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan wadi’ah untuk tujuan :
Ø Giri
Ø Tabungan
Sebagai konsekuen dari yad-Adh Dhamanah, semua keuntungan dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (juga menanggung seluruh kemungkinan kerugian), sedangkan si penyimpan mendapat imbalan jaminan keamanan terhadap barangnya dan juga bank tidak dilarang memberikan bonus yang merupakan kebijakan dari manajemen bank.
               Dalam perbankan modern yang penuh dengan kompetensi, insentif atau bonus semacam ini dijadikan sebagai banking policy untuk merangsang semangat menabung yang sebagai indicator kesehatan bank.


DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an Al-Karim.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
DSN. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) no. 5, 7, 8.
IAI. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no. 103, 105, 106.
Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia.